Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2020

Keluar Rumah Boleh Saja, Asal Ada Perlunya

Jakarta tetaplah Jakarta. Masih tetap ramai, meskipun pandemi belum usai.  Contohnya di sana, dekat halte Dukuh Atas. Saya masih bisa melihat aktivitas yang pernah saya temui sekitar 5 bulan yang lalu, persis terakhir ke tempat ini sebelum pandemi. Masih ada anak muda yang bermain skateboard di trotoar. Sedikit mengobati kerinduan saya akan kehidupan malam di Jakarta.  Yap, begitulah batin saya ketika akhir-akhir ini memutuskan untuk keluar rumah. Pada masa PSBB Transisi, saya sudah mulai lebih sering untuk keluar rumah. Seringnya, sih, ke kampus untuk melakukan hal-hal tertentu yang nggak bisa dilakukan dari rumah. Bukan sekadar cuma pengin keluar rumah aja, ya. Semuanya pun saya lakukan semaksimal mungkin mengikuti arahan pemerintah: pakai masker, jaga jarak, dan mencuci tangan menggunakan sabun.  Hal demikian saya lihat juga ketika di bus Transjakarta. Saya berharap, setiap orang di seluruh tempat bisa menerapkan hal yang sama. Melihat fenomena saat ini,...

Gerilya Bersenjatakan Buku

Setelah Tepi Buku nggak berjalan lagi , saya masih tetap membaca; sebagaimana orang bodoh yang tak mau terus-terusan menjadi bodoh. Dari Tepi Buku, banyak hal yang membuat saya belajar arti kolaborasi. Sebagaimana istilah yang saya temui di buku Kolaborasi Kebaikan karya Mas Alfath Bagus; kolaborasi artinya menemukan titik temu di antara banyak perbedaan. Buku Presiden Mahasiswa (Presma) BEM KM UGM 2017 itu begitu menginspirasi saya dalam memaknai kolaborasi. Atau, mengutip perkataan seorang guru: berbeda itu pasti, bersatu itu keharusan. Saya nggak ingin mengklaim Tepi Buku adalah milik saya seorang. Bukan. Namun, semangat yang dibangun sejak awal amat saya rasakan berada dalam diri saya. Pasca nggak berjalannya Tepi Buku, kami berlima tetap berteman. Fahmi masih baik sama saya. Masih suka makan bareng juga. Semua kembali sediakala. Sekali pun dalam kondisi yang enak buat ngobrol, saya jadi agak sungkan buat melanjutkan Tepi Buku.  Biarlah berlalu, nggak usah dip...

Membangun Tepi Buku

Nggak lama setelah tercetuskan nama Tepi Buku , saya dan Fahmi mulai merancang gerak langkah kami. Kami nggak berdua. Ada tiga orang teman lain yang ikut proyek ini. Kami cukup intens berkumpul untuk merumuskan seperti apa Tepi Buku nanti bergerak. Selepas kuliah di masjid kampus, sampai beberapa kali nginep bareng di kosan Fahmi. Memang di antara kami berlima, saat itu saya dan Fahmi yang banyak menggarap konsep dan teknis. Tiga orang lainnya membantu share info dan memberi masukan. Nggak jarang mereka yang berperan nyiapin cemilan. Nggak masalah. Setiap orang punya peran. Sekecil apa pun, peran itu tetaplah berharga. Buah awal dari diskusi kami adalah pembuatan logo. Dengan membuat filosofi yang niat dan skill desain Fahmi, terciptalah satu logo Tepi Buku. Pasca adanya logo itu, semangat kami, terutama saya, semakin meningkat. Kami nggak terlalu sibuk bahas dari nol. Kami tahu, masalah dari proses pinjam-meminjam buku adalah pada waktu pengembalian. Seperti yang p...

Menjadi Ember Kotor di Kampus

Berbicara kampus, saya tertarik dengan satu kalimat yang kurang lebih mengibaratkan kampus sebagai laboratorium. Saya tertarik bicara lab bukan karena saya mahasiswa jurusan kimia—yang akrab dengan lab, tetapi bagaimana akhirnya proses saya mengartikan kalimat tersebut.  Laboratorium adalah tempat penuh cerita—ya, saya cukup kenyang 3 tahun beraktivitas di lab. Di sana setiap orang berkesempatan melakukan proses-proses akademik. Melakukan percobaan, mengamati reaksi, lalu memberi kesimpulan. Sama seperti kehidupan. Sebagaimana seorang praktikan yang tengah melakukan percobaan, lalu bagaimana mereka bisa mengambil pesan pelajaran. Sewajarnya begitu di laboratorium. Bumbu-bumbu lainnya yang ada di lab: ada yang tidur di lab (serius, ini bahaya, jangan ditiru), ada yang hampir kecelakaan karena nggak taat prosedur, sampai keracunan bahan. Hal-hal tadi cukup akrab dalam keseharian kita. Kelelahan, hampir kecelakaan, sampai keracunan. Namun, di luar itu semua, di luar peng...

Pemuda Keren dan Berwibawa

Nggak banyak orang yang rela meninggalkan segala kenikmatan dunianya. Sosok pemuda itu salah satunya. Pemuda ganteng idaman, tanpa pencitraan. Dia tampan, tapi nggak nakal. Pakaiannya rapi dan keren. Kalau ke luar rumah, parfumnya meninggalkan jejak di setiap jalan yang dilewatinya.  Dia lahir dalam keluarga yang berkecukupan. Orang tuanya selalu memberi fasilitas terbaik buat anak tercintanya. Kasih sayang dari ibunya nggak kekurangan. Kasih ibu tak terhingga sepanjang masa. Namun, pemuda itu mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Pemuda itu rela meninggalkan segala kemewahan itu. Dia mengambil satu pilihan besar pada suatu sore. Dia pergi ke satu tempat. Bukan kongko untuk ngopi-ngopi ganteng. Bukan juga untuk memotret senja sambil ngopi dan dengar lagu indie. Bukannya ke tempat-tempat gaul, pemuda itu datang ke suatu tempat terpencil. Jarang ada orang yang tahu tempat itu.  Alasannya sederhana. Dia pernah dengar kabar ada tempat keren di mana orang-oran...