Skip to main content

Jadi Ketua Kelas (Lagi)

Kadang gue berpikir, kriteria seperti apa yang cocok untuk menjadi seorang pemimpin. Bisa berbicara di depan umum, punya attitude yang baik agar bisa dicontoh oleh orang lain, dan masih banyak lagi. Begitu juga seorang ketua kelas, yang notabene jadi pemimpin di kelas.

Sewaktu kelas 10, gue pernah jadi ketua kelas. Banyak yang udah dibahas di blog gue (Bisa baca di sini, di sini, dan di sini). Lalu, apakah gue termasuk orang yang punya kriteria yang udah gue sebutin di atas? Jawabannya: Nggak.

Semakin ke sini, gue berpikir ada satu kriteria ketua kelas dan gue punya kriteria itu, yaitu gampang disuruh-suruh. Gue termasuk orang yang penurut. Apapun perintah yang bersumber dari orang yang lebih tua dari gue, gue menurutinya. Ya, nggak semua perintah gue turuti sih. Kalau gue disuruh terjun dari lantai tiga sekolah, gue nggak bakal mau.

Banyak teman-teman kelas 10 yang sekarang berbeda kelas dengan gue bilang, "Kelas 11 jadi ketua kelas aja lagi, Rob.". Gue berpikir, jangan-jangan teman gue mau ngeliat kelas gue hancur dan merasa saingan kelasnya berkurang. Gue cuma bilang ke mereka, "Nanti liat aja. Semoga nggak ada yang milih gue."

Sebenarnya, untuk menjadi ketua kelas, gue udah nggak berminat lagi (Lah, pede banget. Emang ada yang mau milih lu?). Tapi, seandainya gue bisa terpilih jadi ketua kelas lagi, gue pasti siap. Tapi ada satu hal yang membuat gue mikir lagi buat jadi ketua kelas, yaitu bertemu dengan orang baru nggak selalu mudah buat berinteraksi.

Suasana di hari kedua sekolah masih sama seperti hari pertama: canggung. Itu karena kelas diacak di kelas 11. Bertemu dengan orang baru yang sebelumnya belum saling kenal, apalagi ngobrol dan menegur jadi alasan yang gue dapatkan dari kecanggungan kelas baru. Tapi, gue yakin, suasana kayak gini cuma sampai seminggu atau paling lama dua minggu. Liat aja kalau udah sebulan. Pasti udah nggk jaim-jaiman lagi. Pokoknya, kalau udah dibentuk kelompok belajar pasti langsung membaur. Percaya sama gue.

Hari itu, wali kelas gue masuk. Gue nggak asing lagi dengan orang ini. Beliau adalah wali kelas gue di kelas 10. Namanya Pak Pras. Pak Pras masuk ke kelas, lalu mengucap salam "Assalamualaikum".

Seisi kelas menjawab salam.

"Ayo, siapkan berdoa." kata Pak Pras di depan kelas. Kemudian, teman-teman gue yang duduk di depan saling melirik ke temannya. Seakan nyuruh buat nyiapin kelas. Ada di antara mereka yang benar-benar main suruh-suruhan. "Si anu aja... si anu aja," Gue diam, berharap nggak ada yang nyuruh gue (Lah, pede banget lu).

Ketakutan gue terjadi. Teman-teman yang dulu pernah sekelas dengan gue di kelas 10 langsung melirik ke gue seakan berkata, "Rob... siapin doa gih," Berhubung gue peka dengan tatapan mereka dan gue termasuk orang yang gampang disuruh-suruh, gue menyiapkan kelas,

"Siap."
"Berdoa."
"Memberi salam."

Orang-orang yang duduk di depan tatapannya langsung tertuju ke gue. Tatapannya mirip kayak orang yang nuduh temennya kentut, "SIAPA NIH PELAKUNYA??!" Gue sumringah.

Setiap kelas pasti ada pengurus kelas. Di hari kedua, pemilihan pengurus kelas dilakukan. Sama seperti di kelas 10, pemilihan dilakukan dengan menulis nama calon. Boleh menulis nama sendiri. Cara yang udah pernah gue rasakan sebelumnya.

Gue menulis nama Mubarok, orang yang jadi wakil gue di kelas 10.

Semua kertas berisi nama calon pengurus kelas sudah terkumpul. Penghitungan suara dimulai. Satu per satu nama disebutkan lalu ditulis di papan tulis. Mirip pemilihan kepada daerah, ya.

Nama Syaiful disebutkan 3 kali oleh Bunga. Lalu, nama Rizky disebutkan sekali. Sejauh ini, gue aman. Belum ada tanda-tanda kehancuran hidup.

Nggak lama kemudian,

"Robby." Bunga menyebutkan nama gue, lalu ditulis di papan tulis.
"Kampret! Siapa nih yang milih gue??!" gerutu gue. Gue mencoba tetap tenang dan berpikir jernih. "Untung cuma satu, mungkin ada orang iseng." pikir gue.

Kemudian nama Syaiful disebutkan lagi sekali. Disusul Rizky sekali. Lalu,
"Robby"

"2 suara??! Siapa lagi nih yang milih gue??!" teriak gue dalam hati. Gue mulai nggak tenang. Kemungkinan terburuk masih bisa terjadi. Seburuk-buruknya, gue jadi bendahara.

Setelah itu, malapetaka mulai datang. Entah ini kerjaan siapa yang milih gue, nama gue disebutin 3 kali berturut-turut. Jumlah suara gue sama kuat dengan Syaiful. Ya ampun, gue mau mati. *lebay

Mungkin karena ini kelas baru, orang-orang yang memilih gue bingung mau memilih siapa. Mungkin, seharusnya mereka menulis nama Syaiful, tapi karena typo jadi menulis nama Robby. Iya, gue tau itu typo maksa banget.

Sampai ketika jumlah suara gue udah berjumlah 10, orang-orang yang duduk di depan gue langsung melirik cowok-gembel-duduk-di-belakang. Yak, mereka ngeliatin gue. Seakan tatapannya berbicara, "ANAK MANA NIH. BISA DAPET 10 SUARA. MAIN DUKUN NIH PASTI,"

Sumpah, gue nggak main dukun.

Mereka kaget melihat nama gue bisa dapat suara sampai segitu banyak. Kalau ada yang curiga gue main money politic, gue bakal membantahnya. Sumpah, gue nggak main curang demi jadi ketua kelas. Gue cuma sebagai underdog (baca: di bawah anjing) dalam pengurus kelas. Gue layaknya sebagai kuda hitam, adalah orang yang nggak diunggulkan.

Setelah selesai, semua suara calon pengurus kelas dijumlah. Gue mendapat 13 suara mengalahkan Syaiful dengan 6 suara. Gue heran kenapa bisa sampai dapat 13 suara. Gue bertanya-tanya siapa aja orang yang merelakan hidupnya untuk menjadikan gue sebagai ketua kelas. Secara kepopuleran, gue sama sekali nggak dikenal di sekolah. Lalu, bagaimana bisa gue mendapat 13 suara?

Logikanya, di kelas gue, ada 8 orang yang kelas 10 MIA 3 (kelas gue dulu) yang notabene pernah merasakan gue jadi ketua kelas. Dikurang satu suara karena gue nggak milih nama gue. Jadi, ada 6 orang yang belum kenal gue yang memilih gue. Itu juga teman-teman yang dulu sekelas belum tentu milih gue. Harusnya mereka menyesal memilih orang yang sesat seperti gue.

Setelah ditentukan dan dipilih jadi ketua kelas, Pak Pras menghampiri gue, lalu bertanya, "Robby siap jadi ketua kelas?"
Gue jawab dengan mantap, "Siap, pak!".

Siap, pak!
Setelah itu, Pak Pras kembali ke tempat duduk. Gue memikirkan hal buruk apa yang selanjutnya bakal terjadi pada gue. YAK, PIDATO! Saat gue jadi ketua kelas 10 MIA 3, gue disuruh pidato. Saat itu, gue benar-benar mau ngomong apa karena belum ada persiapan sama sekali.

"Ummm..., terimakasih telah memilih saya." kata gue grogi.

Lalu, Pak Pras memotong pidato gue, "Jangan berterimakasih kepada teman kamu, tapi sampaikan apa yang akan kamu lakukan nanti ketika jadi ketua kelas."
 
Saat itu, gue ingin menjawab, "Saya ingin sekolah diliburkan dan hanya masuk sekolah dua hari dalam seminggu," tapi, gue sadar kalau permintaan itu bertentangan dan pasti gue bisa masuk penjara. Gue bingung memikirkan mau menjawab apa, tapi teman-teman gue malah tertawa. Gue makin grogi. Gue mulai bersuara, "Nanti saat saya jadi ketua kelas, saya akan mengadakan piket pagi," kata gue dengan jumawa. "Nah, belum pernah ada kan program kayak gitu ha ha ha..." gue makin yakin.

Nyatanya, piket pagi yang dijanjikan itu cuma mitos. Miris.

Tidak mau jatuh ke lubang yang sama, gue menyiapkan kata-kata untuk pidato nanti. Gue siapkan kata-kata yang membuat hati teman-teman gue luluh. Kesannya biar bisa dipercaya gitu. Istilahnya "Buatlah kesan yang baik dalam pertemuan pertama. Setelah itu, barulah timbul malapetaka".

"Terimakasih, telah mempercayai saya sebagai ketua kelas. Sungguh ini adalah pengalaman saya yang sangat berarti. Mungkin dengan terpilihnya saya sebagai ketua kelas, merupakan sebagai batu loncatan untuk kepemimpinan yang lebih besar luang lingkupnya. Misalnya, jadi presiden Maroko..."

Wuih, kalian yang baca pasti luluh, kan, dengan kata-kata gue. Gue berlatih pidato dalam hati, berharap bisa pede saat berpidato nanti. Gue membayangkan nantinya gue mendapat tepuk tangan dari teman-teman dan wali kelas. Lalu, ada kepala sekolah yang nggak sengaja lewat kelas gue dan melihat gue berpidato. Beliau pun ikut tepuk tangan dan menganggap pidato gue sebagai... ajakan dari sebuah aliran sesat.

Nyatanya, Pak Pras nggak nyuruh gue pidato. Miris.

Itulah akibatnya kalau terlalu pede.

Terakhir, doakan gue, ya, semoga kuat dalam menjalani tugas sebagai ketua kelas. Dan, semoga nggak ada hal-hal buruk yang menyerang. Aamiin.

Comments

  1. Wiiih, congratulations yaa rob :) tapi jangan ajak mereka ke ilmu sesat kamu juga :D hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih, kakak. Insha Allah mereka nggak kejebak ilmu sesat yang kuajarkan~

      Delete
  2. ciye Robby jadi ketua kelas lagi.. Berarti kamu memang udh ada kemampuan menjadi pemimpin. Jadi ketua kelas juga salah satu pbelajaran juga kan :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Doakan ya semoga sukses di pemilihan presiden Maroko :))

      Delete
  3. setuju banget, ketua kelas itu kerjanya malah disuruh-suruh :(

    ReplyDelete
  4. Jd ketua kelas jgn mau d suruh2, kalo bisa sih manfaatin buat deketin cewek2 tuh, lebih asoy.. Tunjukkan kalo ketua kelas bukan jongos, tp tukang modus. Hehe

    ReplyDelete
  5. Momen menjadi ketua kelas tentu menjadi pengalaman yang nggak terlupakan ya. Berarti teman-teman sudah percaya sama Robby, makanya pada milih lagi...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setidaknya bisa diceritakan ke anak-cucu kita.

      ((((KITA))))

      Delete

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Popular posts from this blog

Kumpul-kumpul Lucu Bareng Blogger Jabodetabek

Pertemuan yang kuimpikan, kini jadi kenyataan. Kira-kira begitulah lirik lagu yang cocok dengan isi post ini. Ehm, tapi kok jadi dangdut begini? Tanggal 11 Desember 2016 gue ikut kopdar blogger kedua dalam hidup. Tempatnya di Taman Ismail Marzuki. Satu hal yang mengganggu pikiran gue adalah: di mana itu Taman Ismail Marzuki. yang bikin: instagram.com/tigabumi Tiga hari sebelum kopdar gue sempat nyari informasi rute ke Taman Ismail Marzuki. Karena gue pengguna Transjakarta sejati, dengan usaha keras gue cari di halaman pertama Google. Hingga akhirnya bertemu sebuah blog yang mencerahkan kegundahan. Di sana disebutkan bahwa dari halte Kalideres naik bus ke arah Harmoni. Lalu nyambung naik ke arah Blok M, turun di Bank Indonesia. Kemudian di Bank Indonesia ngasih lamaran kerja jalan sebentar sampai perempatan, naik kopaja 502. Yok, semoga ngangkat. Semoga penjelasan tadi bisa masuk page one. Muehehe. Kali aja ada yang nggak tahu jalan kayak gue. Udah gue jelasin, nih. Huh...

Katakan pada Dunia, Inilah Resolusi 2019-ku!

Seperti biasanya, setiap tahun baru di kepala saya banyak muncul keinginan yang ingin dicapai. Agak bingung juga kenapa harus sampai di momen pergantian tahun keinginan itu menggebu untuk tercapai. Mungkin lebih tepat dikatakan bila momen pergantian tahun sebagai momen untuk membuat daftar keinginan. Menata lagi mana yang penting untuk ditunaikan. Tidak masalah sepertinya. Lebih baik seperti ini ketimbang bingung harus apa. Setidaknya dengan adanya tujuan, arah gerak saya menjadi lebih teratur. Menjelang pergantian tahun saya sudah melihat beberapa teman membuat daftar harapannya. Ada yang benar-benar mempublikasikannya di media sosial. Keren. Semua orang bisa lihat itu. Dari situ, bisa jadi orang-orang yang melihat tulisannya ikut berperan untuk membantu orang itu mewujudkannya. Berbeda dengan saya. Kali ini, untuk daftar-daftar semacamnya biar menjadi rahasia saya (sebenarnya belum dibuat versi rapi dan tersusunnya juga, sih). Namun, bukan berarti keinginan itu menjadi satu hal ya...

Kebiasaan Buruk Pengunjung Gramedia

Gue merasa ada perubahan dalam diri mengenai minat membaca buku. Walaupun gue cuma baca buku jenis tertentu (pastinya menghindari buku pelajaran), tapi setidaknya ada peningkatan dalam minat baca buku. Dulu, gue nggak tahan baca novel selama 20 menit. Sekarang, gue bisa 30 menit baca novel. 10 menit buat baca, sisanya gue ketiduran. Peningkatan itu ditandai dengan seringnya gue ke Gramedia. Setiap pulang les, tepatnya hari Minggu (saat kelas 10) atau Sabtu (saat kelas 11), gue sering ke Gramedia buat beli atau sekedar liat-liat buku baru. Baca juga: Ngomongin Buku: What I Talk About When I Talk About Running - Haruki Murakami Buku yang Menghangatkan Rumah   Pokoknya, Gramedia tempat ngabisin waktu paling seru~ (Gue nggak tau ini Gramed mana. Sumber: Google) Karena seringnya gue ke Gramedia, gue jadi tau kebiasaan pengunjung Gramedia. Mungkin nggak cuma di Gramedia, tapi di toko buku lainnya juga hampir mirip kebiasaannya. Berikut adalah kebiasaan buruk yang gue amati...