Skip to main content

Akrab dengan Kimia

Saya menyukai kimia.

Mungkin sebelum melanjutkan bacaan hingga kata terakhir, ada baiknya saya mengatakan, bahwa postingan ini tetap bisa dinikmati semua orang. Bukan hanya untuk orang-orang yang sedang dan/atau pernah mempelajari ilmu kimia.

Bagi saya, kimia adalah mata pelajaran yang cara mendapatkan nilai bagus bisa diraih relatif mudah. Bayangkan, 60 persen soal berupa hitungan sederhana. Tinggal masuk ke rumus, voila, hasilnya ketemu. Bahkan ada soal hitungan yang nggak perlu pake rumus! Menyenangkan bukan?

Bagaimana dengan 40 persennya? Sisanya cuma berupa hafalan kok. Pahit-pahitnya, bisa pake cara "ngitung kancing". Soal pilihan ganda mempermudah segalanya.

Namun, semuanya berubah sejak saya masuk perkuliahan. Jangan harap ada soal pilihan ganda. Soal yang bermodalkan hafalan juga jarang. Lagipula berat kalau mau ngafalin semua materi sebuku. Soal hitungan sedikit banget. Sekalinya ada, angkanya nggak ada yang sebagus soal kimia SMA.

Hal ini cukup bikin saya resah.

Saya curhat ke seorang teman di kantin kampus. Saya khawatir. Kelak ketika saya menjadi guru, saya takut menyampaikan ilmu yang salah. Teman saya sudah mulai ngajar sebagai guru privat. Setidaknya dia punya satu langkah di depan saya yang belum punya pengalaman mengajar. Dari jawabannya, saya menangkap satu poin penting: semuanya bisa kalau sudah terbiasa. Sambil belajar terus tentunya.
"Menurut lu, gue cocok jadi guru apa?" tanya saya, usil. Pertanyaan nggak penting sebenarnya.
"Guru SD!" jawab dia cepat.

Lagi galau di jurusan sendiri, dikasih jawaban kayak gitu. Malah memunculkan niat buat pindah jurusan. Lagi pula anak SD belum dapat pelajaran kimia. Yang ada, kalau ditanya apa itu atom, nanti jawabannya, "Itu jenis kacang?"

Pada suatu siang di tengah libur lebaran, saya tergelitik dengan satu judul artikel di blog Pak Urip. Beliau adalah guru kimia yang... punya blog. Apa bedanya dengan guru kimia yang punya blog lainnya? Nggak tau! Saya nggak pandai mendeskripsikan seseorang.

Judulnya adalah "Membumikan Kimia". Sebagai mahasiswa yang sering terlibat dalam istilah-istilah kimia, saya penasaran pastinya dengan judul tersebut. Apanya yang dibumikan? Atau kimia lebih baik dikebumikan karena... Oke, nggak perlu dilanjutkan.

Bicara soal judul post tersebut, saya jadi ingat satu sesi kuliah kimia. Dosen saya bingung melihat fakta tentang kimia yang berkembang di masyarakat. Intinya, menurut beliau, kimia masih terlalu dianggap ilmu yang melangit. 

Yang ada di pikiran banyak orang, kimia... ya cuma bahan pembuat bom. Teman-teman saya pernah bercerita, sering kedapatan percakapan seperti ini:
"Kuliah jurusan apa?"
"Kimia."
"Oh, berarti bisa bikin bom dong?"

Saya nggak tau itu jenis tanggapan yang bercanda atau bukan. Kalau itu bercanda, saya juga punya tanggapan bercanda. Seandainya saya berada dalam percakapan yang sama....
"Kuliah di jurusan apa?"
"Pendidikan Kimia."
"Oh, berarti bisa bikin bom dong?"
"Bukan saya yang bikin. Saya cuma ngajarin."

Ah, nanti malah keciduk. Hehehe.

Kembali ke topik. Sebenarnya dunia kimia sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Saat mandi, kita pakai sabun, pasta gigi, sampo. Itu semua melibatkan bahan kimia. Ketika lapar, asam lambung terasa naik ke kerongkongan. Bayangkan, asam lambung adanya di tubuh kita. Lalu, kenapa kita masih jauh-jauh mikir kimia adalah bom?

Di kalangan anak sekolah kejadiannya mirip. Kalau anak sekolah ditanya "apa saja contoh garam?", anak sekolah, bahkan mahasiswa, kebanyakan jawab natrium klorida (NaCl) atau garam dapur. Padahal, masih banyak contoh-contoh garam yang ada di kehidupan sehari-hari. Kapur termasuk garam. Sabun pun termasuk garam. Ada lelucon yang dosen saya sampaikan. "Orang-orang kimia bisa-bisa darah tinggi karena contoh garam yang dia tahu cuma garam dapur." Rupanya, selain kekurangan stok garam, kita juga kekurangan contoh garam.

Mengutip tulisan tersebut, "Karena siswa sendiri tidak diakrabkan dengan dunia nyata dalam pelajaran kimia itu sendiri." Kalau diingat-ingat lagi zaman SMA, apa yang saya pelajari tentang kimia adalah hal-hal yang sifatnya abstrak. Nah, bisa jadi, teman-teman saya yang menganggap kimia sebagai mata pelajaran paling nyebelin adalah karena terasa kurang aplikatif di kehidupan sehari-hari. Untuk apa belajar teori atom sampai pusing membayangkan teorinya Rutherford bila dia bercita-cita sebagai seorang ekonom? Dosen saya sempat menyinggung hal ini. "Lebih baik kita kenalkan tentang manfaat serta bahaya-bahaya bahan kimia. Semua orang nggak perlu tau soal teori atom, kok, dan semua orang nggak mau jadi ahli kimia. Kalau kita kenalkan kimia tentang hal-hal tadi, mau dia bekerja sebagai akuntan atau pengacara, ilmu kimia jadi lebih aplikatif." Hal itu yang sepertinya menjadi PR untuk para guru, termasuk saya seorang calon guru kimia.

Tambahnya lagi, "Anak SMA kalau udah bisa hitung-hitungan kimia, udah deh, merasa jadi ahli kimia." Saya ketawa ngakak dalam hati. Saya nggak berani ketawa secara langsung karena saya duduk persis di depannya. Saya cuma tersenyum. Saya kayak lagi dihadapkan dengan cermin besar. Ini saya banget!
"Yang paling penting itu konsep. Hitung-hitungan cuma dipakai sebagai metode pengambilan keputusan," tambahnya. Kemudian saya tulis kalimat tadi di binder saya. Segala keputusan butuh perhitungan. Siap.

Saya jadi sedih setelah mengetahui hal yang sudah terjadi (contoh terdekat: diri saya sendiri). Kasihan juga anak-anak SMA yang semangat belajar kimia hanya karena merasa mendapat kemudahan dari hitung-hitungan kimia, tetapi melupakan konsep. Apalagi konsep kimia di SMA menurut dosen-dosen saya ada banyak kekeliruan. Nah, jadi serba salah ya.

Lagi-lagi itu saya sadari setelah saya belajar kimia di perkuliahan. Konsep-konsep yang sudah saya pahami sejak SMA buyar begitu saja ketika diberikan konsep yang lebih masuk akal. Rupanya, guru-guru SMA seringkali salah tangkap mengenai konsep dan salah juga penyampaiannya. Atau bisa juga terjadi seperti ini: konsep dan penyampaian dari guru sudah oke, tetapi siswa salah mengartikan. Kalau nggak salah, hal ini disebut miskonsepsi.

Rasanya, benar kata teman saya. Kita harus terbiasa. Terbiasa sekaligus membiasakan dunia kimia akrab dalam kehidupan sehari-hari. Bukan berarti biar tahu suatu larutan termasuk asam atau basa kita selalu bawa kertas lakmus ke mana-mana.

Di malam takbiran, saya sejenak keluar rumah. Letupan kembang api mengangkasa dan ledakannya bersahutan. Saya takjub dan kembali teringat sesi perkuliahan, pada sebuah pertanyaan.

"Petasan itu terbuat dari apa?"

Apa yang selanjutnya terjadi?

Sunyi.

Memang, sepertinya kita butuh lebih kenal dunia agar kimia terasa lebih dekat. Peringatan juga untuk saya agar terus belajar dan meningkatkan pemahaman.

(Tambahan: saat saya sedang kepikiran menulis tulisan ini, saya menemukan sebungkus deterjen. Barangkali itulah satu-satunya "bom" yang saya tahu. Ya, merek deterjen.)

Comments

  1. Pas kelas 1 SMA, masih belajar Kimia, gue juga sering ngeluh dengan mata pelajaran itu. Walaupun guru yang ngajar baik dan cara penyampaiannya lugas, tapi otak masih tidak bisa menerima.

    Dari tulisan diatas, saya jadi bimbang juga dengan jurusan yang saya ambil.

    ReplyDelete
  2. Jadi, sekarang udah bisa bikin bom?

    Penting abis bawa-bawa kertas lakmus. Wqwq.

    Jangankan untuk Kimia. Pas kuliah Manajemen Pemasaran, sewaktu dosen bertanya soal pasar dalam konteks pemasararan aja, jawaban mahasiswanya masih pada tradisional banget, Rob. Pasar itu tempat bertemunya penjual dan pembeli. Padahal zaman sekarang transaksi nggak melulu di pasar juga. Mestinya, kan, bisa bertemunya permintaan dan penawaran hingga terjadi kesepakatan. Halah.

    ReplyDelete
  3. Petasan itu bisa meledak karena ada bubuk mesium yang mana merupakan bagian dari logam alkana. Goks. Mulai sekarang panggil aku albert einskresnoadi.

    ReplyDelete
  4. Halo, Robby! Apa kabar?

    Lah aku ngakak dah ending-nya! Aku kek bengong bentar dan... Oh iya. Hahaha.

    Kimia itu malah aku pikir mereka orang yang sangat hati-hati karena kan kalo aku liat scene di kartun atau film mereka main cairan gitu kan. Kalo salah masukin malah bisa jadi parah. Gitu sih.

    Emang sih bom atau petasan itu kek "racun". Aku sendiri kalo ada yang nyalain petasan malah sembunyi. Takut soalnya.

    Tapi ya emang kimia ada di kehidupan sehari-hari. Makanan basipun ada kimianya. Ah, tapi aku tak ingin tahu banyak tentang kimia. Akuntansiku nanti nganggur. Kasian. :(

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Popular posts from this blog

Kebiasaan Buruk Pengunjung Gramedia

Gue merasa ada perubahan dalam diri mengenai minat membaca buku. Walaupun gue cuma baca buku jenis tertentu (pastinya menghindari buku pelajaran), tapi setidaknya ada peningkatan dalam minat baca buku. Dulu, gue nggak tahan baca novel selama 20 menit. Sekarang, gue bisa 30 menit baca novel. 10 menit buat baca, sisanya gue ketiduran. Peningkatan itu ditandai dengan seringnya gue ke Gramedia. Setiap pulang les, tepatnya hari Minggu (saat kelas 10) atau Sabtu (saat kelas 11), gue sering ke Gramedia buat beli atau sekedar liat-liat buku baru. Baca juga: Ngomongin Buku: What I Talk About When I Talk About Running - Haruki Murakami Buku yang Menghangatkan Rumah   Pokoknya, Gramedia tempat ngabisin waktu paling seru~ (Gue nggak tau ini Gramed mana. Sumber: Google) Karena seringnya gue ke Gramedia, gue jadi tau kebiasaan pengunjung Gramedia. Mungkin nggak cuma di Gramedia, tapi di toko buku lainnya juga hampir mirip kebiasaannya. Berikut adalah kebiasaan buruk yang gue amati...

Kumpul-kumpul Lucu Bareng Blogger Jabodetabek

Pertemuan yang kuimpikan, kini jadi kenyataan. Kira-kira begitulah lirik lagu yang cocok dengan isi post ini. Ehm, tapi kok jadi dangdut begini? Tanggal 11 Desember 2016 gue ikut kopdar blogger kedua dalam hidup. Tempatnya di Taman Ismail Marzuki. Satu hal yang mengganggu pikiran gue adalah: di mana itu Taman Ismail Marzuki. yang bikin: instagram.com/tigabumi Tiga hari sebelum kopdar gue sempat nyari informasi rute ke Taman Ismail Marzuki. Karena gue pengguna Transjakarta sejati, dengan usaha keras gue cari di halaman pertama Google. Hingga akhirnya bertemu sebuah blog yang mencerahkan kegundahan. Di sana disebutkan bahwa dari halte Kalideres naik bus ke arah Harmoni. Lalu nyambung naik ke arah Blok M, turun di Bank Indonesia. Kemudian di Bank Indonesia ngasih lamaran kerja jalan sebentar sampai perempatan, naik kopaja 502. Yok, semoga ngangkat. Semoga penjelasan tadi bisa masuk page one. Muehehe. Kali aja ada yang nggak tahu jalan kayak gue. Udah gue jelasin, nih. Huh...

Katakan pada Dunia, Inilah Resolusi 2019-ku!

Seperti biasanya, setiap tahun baru di kepala saya banyak muncul keinginan yang ingin dicapai. Agak bingung juga kenapa harus sampai di momen pergantian tahun keinginan itu menggebu untuk tercapai. Mungkin lebih tepat dikatakan bila momen pergantian tahun sebagai momen untuk membuat daftar keinginan. Menata lagi mana yang penting untuk ditunaikan. Tidak masalah sepertinya. Lebih baik seperti ini ketimbang bingung harus apa. Setidaknya dengan adanya tujuan, arah gerak saya menjadi lebih teratur. Menjelang pergantian tahun saya sudah melihat beberapa teman membuat daftar harapannya. Ada yang benar-benar mempublikasikannya di media sosial. Keren. Semua orang bisa lihat itu. Dari situ, bisa jadi orang-orang yang melihat tulisannya ikut berperan untuk membantu orang itu mewujudkannya. Berbeda dengan saya. Kali ini, untuk daftar-daftar semacamnya biar menjadi rahasia saya (sebenarnya belum dibuat versi rapi dan tersusunnya juga, sih). Namun, bukan berarti keinginan itu menjadi satu hal ya...