Skip to main content

Enggan Kembali Pada Masa Lalu

Akhir-akhir ini ada sebuah semangat baru dalam diri saya. Nggak terlalu baru mungkin, tetapi lebih mengingatkan kembali pada semangat tersebut.

Setelah memperpanjang domain blog, saya melihat lagi tulisan-tulisan saya periode 2014-2017. Masa-masa itu adalah waktu saya paling produktif ngeblog. Membandingkannya dengan sekarang, sangat jauh berbeda produktivitasnya.

Namun, setelah saya baca lagi tulisan-tulisan itu, saya nggak terlalu suka. Lagi-lagi, saya membandingkan dengan apa yang terjadi pada saya. Saya pada masa itu, kayaknya... beda dengan saya hari ini.



Baca juga: Nggak Berhenti Nulis

Saya pernah iseng minta seorang teman untuk baca tulisan lama blog saya. Dalam hati, saya mau tahu penilaian dari orang ini. Beberapa tulisan membuatnya tertawa. Akhirnya, di depan saya, dia bilang, “Kasar banget sih lu, Rob.”

Mendengar responsnya, giliran saya yang tertawa. Ya, pada masa itu saya memang begitu adanya.

Memang, saya banyak merasakan perubahan. Sekarang, diri saya menjadi lebih hati-hati dalam bersikap dan bertindak. Mungkin pernah juga saya tulis di sini dan dirasakan juga oleh pembaca lama tentang perubahan saya. Saya sadar banyak perubahan.

Dulu, saya orang yang bisa nulis apa aja tentang kehidupan sehari-hari, sekarang jadi banyak mikir. Takut ini, takut itu. Entahlah, ini sebuah mental block atau bukan.


Tulisan saya dipengaruhi oleh perilaku sehari-hari, yang intinya bagi saya sekarang ternyata banyak nggak baiknya.

Hari ini saya merasa telah keluar dari masa-masa itu. Walaupun memang dari segi produktivitas menurun, ada sebuah perasaan yang lebih nyaman hari ini.

Mungkin pengaruh dari lingkungan kampus yang membuat saya banyak berubah.

Kehidupan saya 2,5 tahun terakhir banyak dihabiskan di kampus. Tugas akademik, organisasi, obsesi kebermanfaatan bersama, dan perbaikan diri adalah bahasan yang berputar terus. Apakah saya bosan? Ya, kadang. Namun, satu hal yang saya sadari: semuanya baik.

Baca juga: Merawat Niat

Lingkungan tersebut banyak berperan dalam diri saya saat ini. Seseorang yang saya kenal pun pernah bilang dalam perjalanan motornya bersama saya. Di tengah konsentrasinya mengendarai motor, beliau bercerita, “Kalau bukan di lingkungan kayak begini, saya pasti jadi orang yang berantakan.”

Kemudian jeda cukup lama, motor melaju beberapa meter, beliau melanjutkan, “pacaran terus kerjaannya.”
Saya pun merasa seperti itu. Banyak hal yang melegakan dari berhentinya gaya hidup saat SMA.

Dulu, nggak pernah yang namanya belajar Alquran. Sekarang sedikit-sedikit mulai belajar benerin bacaan dan nambah hafalan.

Dulu, ngomong kasar bisa terang-terangan ke banyak orang. Sekarang, ya... masih, tapi ke beberapa orang aja dan nggak lebih sering dibanding dulu. Intinya dikurangi.

Dulu, belajar agama ya secukupnya di kelas. Sekarang, hampir setiap hari ada aja jalannya buat nyari tau tentang agama. Semuanya karena kesadaran bahwa nilai-nilai beragama penting dalam hidup.

Dulu, nggak pernah tau yang namanya cerita-cerita sejarah Islam. Sekarang, selalu ketagihan dengar dan bacanya.


Ya, intinya lumayan banyak perubahannya. Tenang, saya nggak akan jadi seekstrem yang dibayangkan. Intinya, saya cuma tersadar pada satu titik, bahwa kullu nafsin zaikatul maut. Semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Tentang bekal persiapan menuju kampung akhirat.

Kalau membandingkan kehidupan masa lalu dengan masa sekarang, saya enggan untuk kembali pada masa lalu. Semoga ini adalah langkah saya menuju manisnya iman. Atau, disebutnya halawatul iman. Seperti hadits yang pernah diperdengarkan kepada saya saat itu. Kala itu, dimulai dengan sebuah pertanyaan. “Pernah tau apa rasanya iman?”

“Nggak.” Kami menggeleng.

“Iman itu rasanya manis. Lebih manis daripada buah-buahan yang kita anggap paling manis.”

Tatapan saya semakin serius. “Ada tiga kriteria, orang-orang yang bisa merasakan manisnya iman.”
Kami menyimak. “Pertama, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari apa pun selain keduanya.”

Kami terus mendengar segarnya nasihat tersebut, “Kedua, dia mencintai seseorang hanya karena Allah.”

Saya terus mencerna, berusaha mengingatnya sedalam-dalamnya. “Ketiga, ini yang paling penting.” Beliau memajukan tubuhnya di antara kami, bicara penuh penekanan, “dia takut kembali pada kekufuran setelah Allah selamatkan dia. Sebagaimana ketakutannya kalau dia dilempar ke neraka.”

***

Baca juga: Berprasangka Baik kepada Allah? Bisa!

Terakhir, saya ingin mengutip sebuah tulisan Edgar Hamas. Semoga menjadi penguat bagi kita yang sedang bangkit dari keterpurukan masa lalu.

“Indah sekali. Cinta yang lezat, dan di saat yang sama membuatmu enggan kembali pada hari lalu yang penuh trauma dan keterpurukan. Artinya, pastikan ia terbangun di tempat yang halal.

Ya, yang membuatmu tak lagi berpikir untuk kembali pada seruan dan gedoran setan yang mengetuk mata dan telinga dengan rayuan gombal. Yang membuatmu takut untuk kembali pada kekufuran dan kejatuhan.”

Comments

  1. Ingin menjabat tangan uztaz Robby.

    ReplyDelete
  2. Setuju. Jangan balik ke masa lalu kalau memang itu buruk, cukup dikenang dan dijadikan pelajaran

    ReplyDelete
  3. Jadikan masa lalu sebagai penguat langkah kita di masa kini

    ReplyDelete
  4. Yaa apapun masa lalu itu jangan pernah kita menengoknya kembali.

    Hadapilah hidup yang terus berjalan lurus kedepan demi tujuan dan harapan yang abadi..😄😄

    ReplyDelete
  5. wkwk, kalau ngebaca postingan blog dari tahun 2010-an (ku mulai ngeblog tahun segitu) ya Allah alaynya luar biasa.. kadang yang diceritain ga penting banget, dan ga nyangka aku sekarang bisa sampai ke titik ini, yaa awalnya juga dari rohis-rohisan juga wkwk. meskipun yaa ga jadi alim-alim amat juga, ya tapi minimal berproses lah, jadi orang yang lebih baik.

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Popular posts from this blog

Kumpul-kumpul Lucu Bareng Blogger Jabodetabek

Pertemuan yang kuimpikan, kini jadi kenyataan. Kira-kira begitulah lirik lagu yang cocok dengan isi post ini. Ehm, tapi kok jadi dangdut begini? Tanggal 11 Desember 2016 gue ikut kopdar blogger kedua dalam hidup. Tempatnya di Taman Ismail Marzuki. Satu hal yang mengganggu pikiran gue adalah: di mana itu Taman Ismail Marzuki. yang bikin: instagram.com/tigabumi Tiga hari sebelum kopdar gue sempat nyari informasi rute ke Taman Ismail Marzuki. Karena gue pengguna Transjakarta sejati, dengan usaha keras gue cari di halaman pertama Google. Hingga akhirnya bertemu sebuah blog yang mencerahkan kegundahan. Di sana disebutkan bahwa dari halte Kalideres naik bus ke arah Harmoni. Lalu nyambung naik ke arah Blok M, turun di Bank Indonesia. Kemudian di Bank Indonesia ngasih lamaran kerja jalan sebentar sampai perempatan, naik kopaja 502. Yok, semoga ngangkat. Semoga penjelasan tadi bisa masuk page one. Muehehe. Kali aja ada yang nggak tahu jalan kayak gue. Udah gue jelasin, nih. Huh...

Katakan pada Dunia, Inilah Resolusi 2019-ku!

Seperti biasanya, setiap tahun baru di kepala saya banyak muncul keinginan yang ingin dicapai. Agak bingung juga kenapa harus sampai di momen pergantian tahun keinginan itu menggebu untuk tercapai. Mungkin lebih tepat dikatakan bila momen pergantian tahun sebagai momen untuk membuat daftar keinginan. Menata lagi mana yang penting untuk ditunaikan. Tidak masalah sepertinya. Lebih baik seperti ini ketimbang bingung harus apa. Setidaknya dengan adanya tujuan, arah gerak saya menjadi lebih teratur. Menjelang pergantian tahun saya sudah melihat beberapa teman membuat daftar harapannya. Ada yang benar-benar mempublikasikannya di media sosial. Keren. Semua orang bisa lihat itu. Dari situ, bisa jadi orang-orang yang melihat tulisannya ikut berperan untuk membantu orang itu mewujudkannya. Berbeda dengan saya. Kali ini, untuk daftar-daftar semacamnya biar menjadi rahasia saya (sebenarnya belum dibuat versi rapi dan tersusunnya juga, sih). Namun, bukan berarti keinginan itu menjadi satu hal ya...

Kebiasaan Buruk Pengunjung Gramedia

Gue merasa ada perubahan dalam diri mengenai minat membaca buku. Walaupun gue cuma baca buku jenis tertentu (pastinya menghindari buku pelajaran), tapi setidaknya ada peningkatan dalam minat baca buku. Dulu, gue nggak tahan baca novel selama 20 menit. Sekarang, gue bisa 30 menit baca novel. 10 menit buat baca, sisanya gue ketiduran. Peningkatan itu ditandai dengan seringnya gue ke Gramedia. Setiap pulang les, tepatnya hari Minggu (saat kelas 10) atau Sabtu (saat kelas 11), gue sering ke Gramedia buat beli atau sekedar liat-liat buku baru. Baca juga: Ngomongin Buku: What I Talk About When I Talk About Running - Haruki Murakami Buku yang Menghangatkan Rumah   Pokoknya, Gramedia tempat ngabisin waktu paling seru~ (Gue nggak tau ini Gramed mana. Sumber: Google) Karena seringnya gue ke Gramedia, gue jadi tau kebiasaan pengunjung Gramedia. Mungkin nggak cuma di Gramedia, tapi di toko buku lainnya juga hampir mirip kebiasaannya. Berikut adalah kebiasaan buruk yang gue amati...