Skip to main content

Menjadi Ember Kotor di Kampus

Berbicara kampus, saya tertarik dengan satu kalimat yang kurang lebih mengibaratkan kampus sebagai laboratorium. Saya tertarik bicara lab bukan karena saya mahasiswa jurusan kimia—yang akrab dengan lab, tetapi bagaimana akhirnya proses saya mengartikan kalimat tersebut. 

Laboratorium adalah tempat penuh cerita—ya, saya cukup kenyang 3 tahun beraktivitas di lab. Di sana setiap orang berkesempatan melakukan proses-proses akademik. Melakukan percobaan, mengamati reaksi, lalu memberi kesimpulan. Sama seperti kehidupan. Sebagaimana seorang praktikan yang tengah melakukan percobaan, lalu bagaimana mereka bisa mengambil pesan pelajaran.

Sewajarnya begitu di laboratorium. Bumbu-bumbu lainnya yang ada di lab: ada yang tidur di lab (serius, ini bahaya, jangan ditiru), ada yang hampir kecelakaan karena nggak taat prosedur, sampai keracunan bahan. Hal-hal tadi cukup akrab dalam keseharian kita. Kelelahan, hampir kecelakaan, sampai keracunan.

Namun, di luar itu semua, di luar pengartian saya “kampus seperti laboratorium”, kali ini saya mau mengatakan bahwa saya adalah “ember kotor” di kampus. 

Begini. Sebenarnya saya pernah tulis ini di sebuah sesi refleksi pada salah satu mata kuliah. Mata kuliah yang sama dengan tulisan “Mengapa Ingin Menjadi Guru?

Dosen saya memberikan kesempatan untuk merefleksikan pengalaman belajar di kampus. Ditambah satu gambar yang cukup menggambarkannya.

Ya! Saya langsung terpikirkan. Saya, siang hari itu, mengambil gambar di Google. 

Gambar ember pecah.

Cukup random memang.



Transkrip: 
“Foto ember di sini kurang lebih menggambarkan pengalaman saya belajar di kampus Bu. Lebih cocok lagi kalau gambarnya ember yang ada pecahannya dan kotor. Karena saya dapat gambar di Google seperti ini dan ember di rumah saya masih bagus, jadi saya ambil gambar dari Google saja.
Sebenarnya saya adaptasi dari nasihat guru ngaji saya, tapi cukup mirip dengan apa yang saya rasakan.

Ibaratnya, saya ini ember yang kotor dan ada pecahan sedikit di embernya. Apa yang saya dapat di kampus, terutama pengalaman belajar adalah air yang terus mengisi si ember. Walaupun embernya pecah, tapi si ember ini tidak bosan bersentuhan dengan air dan siap menampung air dari penuangnya--yaitu bapak ibu dosen. Kian lama bersentuhan dengan air, ember yang kotor tadi bisa jadi lebih bersih dibanding kondisi sebelumnya. Artinya, secara pribadi saya, ilmu yang saya dapat mungkin bisa saja lepas, tapi apa yang bapak/ibu dosen lakukan membuat saya-si ember pecah ini- bisa lebih bersih dan bernilai. 

Maaf ya Bu, jadi nulis cerpen di sini.”

***

Kenapa ember kotor pecah? Udah kotor, pecah pula. 

Itulah manusia. Penuh kekurangan dan kehinaan tanpa pancaran ilmu. Sekalipun air yang masuk tidak pernah banyak, tapi di sanalah kaidahnya dalam menimba ilmu. Terus mau diisi, meskipun sedikit. Terus mau membersihkan diri dan berharap manfaat dari ilmu yang didapat. Dari itu semua, di awal perlu pula belajar bagaimana adab kepada ilmu dan sumbernya, seperti nasihat orang-orang hebat: dahulukan adab atas ilmu. Ilmu tanpa adab akan menimbulkan kekacauan.

Apakah saya sudah hebat dalam hal ini? Tentu belum. Sebab ketidaksempurnaan saya memungkinkan adanya kelalaian. Namun, itu semua tidak mengurangi keinginan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri. Berusaha menjadi pribadi yang lebih hebat lagi. Semoga demikian.

Begitulah yang saya rasakan di kampus selama tiga tahun. Kampus nggak sekadar tempat mentransfer ilmu. Kampus bukan sekadar tempat ngerjain tugas, beres, datang tugas lagi. Bukan. Kampus juga bukan hanya tempat asyik untuk ngobrol bareng teman-teman. 

Kampus, buat saya, adalah tempat pembentu pola pikir dan kepribadian. Kampus adalah sarana persiapan untuk bertebaran ke seluruh penjuru bumi, berdiaspora melakukan hal-hal baik. Dan saya, si ember kotor, telah dan masih akan terus merasakan “pembersihan” itu di kampus. 

Comments

  1. Duh jadi keinget dulu pas SMA pernah nginep semalaman di lab. Bareng teman-teman KIR ngejar deadline😂

    Bercerita soal ember, sepertinya saya sering mendengar cerita tentang seorang anak kecil yang menimba air. Di sepanjang jalan ia membawa dua ember pecah/bocor, kiri dan kanan. Ketika sampai selalu habis. Ternyata air yang masuk ke embernya malah menyirami tumbuhan di sepanjang perjalanan. Ternyata ada hikmah dari ember yang pecah ya hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kan... Bahaya tidur di lab ._.
      Mungkin tidurnya bukan di dalem labnya *keep husnuzhon

      Wah saya baru dengar malah yang itu. Keren juga~

      Delete
  2. Betul juga ya kang, kampus itu bukan cuma sekadar tempat mentransfer ilmu. Kampus bukan sekadar tempat ngerjain tugas, beres, datang tugas lagi.

    Kampus merupakan tempat pembentu pola pikir dan kepribadian. Kampus adalah sarana persiapan untuk bertebaran ke seluruh penjuru bumi, berdiaspora melakukan hal-hal baik.

    ReplyDelete
  3. Saya pikir sikap mental "ember kotor" itu harus terus dijaga, di mana pun itu, biar maksa kita terus belajar.

    Yang paling saya inget kampus itu dulu tempat internetan dan download pake wifi gratisan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, kang. Belajar sepanjang hayat~

      Betul, kang. Saya jadi rindu kampus nih huehehe

      Delete
  4. Mahasiswa kupu-kupu kayak gue can't relate.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kupu-kupu gimana nih bang? Kuliah-punya perusahaan kuliah punya perusahaan

      Delete
  5. Bagus mas Robby analoginya hehehe, semoga kita semua bisa terus menjadi 'ember kotor' ya jadi bisa terus menerima ilmu yang memang patut diterima meski ada kemungkinan 'lepas' tapi seenggaknya yang baik-baik pasti akan terus melekat :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Sejatinya ada yang berubah lebih baik dalam diri kita mbak ;)

      Delete

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Popular posts from this blog

Kumpul-kumpul Lucu Bareng Blogger Jabodetabek

Pertemuan yang kuimpikan, kini jadi kenyataan. Kira-kira begitulah lirik lagu yang cocok dengan isi post ini. Ehm, tapi kok jadi dangdut begini? Tanggal 11 Desember 2016 gue ikut kopdar blogger kedua dalam hidup. Tempatnya di Taman Ismail Marzuki. Satu hal yang mengganggu pikiran gue adalah: di mana itu Taman Ismail Marzuki. yang bikin: instagram.com/tigabumi Tiga hari sebelum kopdar gue sempat nyari informasi rute ke Taman Ismail Marzuki. Karena gue pengguna Transjakarta sejati, dengan usaha keras gue cari di halaman pertama Google. Hingga akhirnya bertemu sebuah blog yang mencerahkan kegundahan. Di sana disebutkan bahwa dari halte Kalideres naik bus ke arah Harmoni. Lalu nyambung naik ke arah Blok M, turun di Bank Indonesia. Kemudian di Bank Indonesia ngasih lamaran kerja jalan sebentar sampai perempatan, naik kopaja 502. Yok, semoga ngangkat. Semoga penjelasan tadi bisa masuk page one. Muehehe. Kali aja ada yang nggak tahu jalan kayak gue. Udah gue jelasin, nih. Huh...

Katakan pada Dunia, Inilah Resolusi 2019-ku!

Seperti biasanya, setiap tahun baru di kepala saya banyak muncul keinginan yang ingin dicapai. Agak bingung juga kenapa harus sampai di momen pergantian tahun keinginan itu menggebu untuk tercapai. Mungkin lebih tepat dikatakan bila momen pergantian tahun sebagai momen untuk membuat daftar keinginan. Menata lagi mana yang penting untuk ditunaikan. Tidak masalah sepertinya. Lebih baik seperti ini ketimbang bingung harus apa. Setidaknya dengan adanya tujuan, arah gerak saya menjadi lebih teratur. Menjelang pergantian tahun saya sudah melihat beberapa teman membuat daftar harapannya. Ada yang benar-benar mempublikasikannya di media sosial. Keren. Semua orang bisa lihat itu. Dari situ, bisa jadi orang-orang yang melihat tulisannya ikut berperan untuk membantu orang itu mewujudkannya. Berbeda dengan saya. Kali ini, untuk daftar-daftar semacamnya biar menjadi rahasia saya (sebenarnya belum dibuat versi rapi dan tersusunnya juga, sih). Namun, bukan berarti keinginan itu menjadi satu hal ya...

Kebiasaan Buruk Pengunjung Gramedia

Gue merasa ada perubahan dalam diri mengenai minat membaca buku. Walaupun gue cuma baca buku jenis tertentu (pastinya menghindari buku pelajaran), tapi setidaknya ada peningkatan dalam minat baca buku. Dulu, gue nggak tahan baca novel selama 20 menit. Sekarang, gue bisa 30 menit baca novel. 10 menit buat baca, sisanya gue ketiduran. Peningkatan itu ditandai dengan seringnya gue ke Gramedia. Setiap pulang les, tepatnya hari Minggu (saat kelas 10) atau Sabtu (saat kelas 11), gue sering ke Gramedia buat beli atau sekedar liat-liat buku baru. Baca juga: Ngomongin Buku: What I Talk About When I Talk About Running - Haruki Murakami Buku yang Menghangatkan Rumah   Pokoknya, Gramedia tempat ngabisin waktu paling seru~ (Gue nggak tau ini Gramed mana. Sumber: Google) Karena seringnya gue ke Gramedia, gue jadi tau kebiasaan pengunjung Gramedia. Mungkin nggak cuma di Gramedia, tapi di toko buku lainnya juga hampir mirip kebiasaannya. Berikut adalah kebiasaan buruk yang gue amati...