Skip to main content

Memaknai Pilihan-Pilihan Hidup

Hidup menawarkan banyak pilihan. Setiap harinya, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Pilihan-pilihan nggak pernah berhenti hadir di hadapan kita. Selesai mengambil satu keputusan, di depan sana ada pilihan-pilihan yang siap menanti. Selesai belajar, kita mau apa: tidur, main game, atau makan sebagai “self-reward”.

memaknai pilihan hidup

Belum lama saya nonton video Raditya Dika terkait pilihan-pilihan dalam hidup. Di video tersebut, Bang Radit menjelaskan tentang opportunity cost. Hal tersebut, kata beliau, sebenarnya merupakan sebuah materi ilmu ekonomi yang dia dapat semasa kuliahnya. Mengutip dari Wikipedia, Opportunity cost, atau biaya kesempatan adalah biaya yang dikeluarkan seseorang atau institusi ketika memilih suatu kegiatan. Di luar dari itu, Bang Radit menerapkannya pada kehidupan.


“Setiap pilihan yang kita ambil, ada keuntungan yang hilang. Karena tidak mengambil alternatif lainnya.”

Contohnya, ketika ada sebuah lahan usaha, kita memilih untuk menjadikan tempat tersebut sebagai warnet dengan keuntungan setahun sebanyak 20 juta/tahun. Pencapaian tersebut belum tentu merupakan keputusan tepat, apabila kita memilih keputusan lain. Misalnya dengan membuka jasa warung makan, yang ternyata keuntungannya sampai 50 juta/tahun. Opportunity cost-nya adalah 30 juta.

opportunity cost raditya dika

Gitu kata Bang Radit. Kalau salah koreksi, ya.

Atau dalam kehidupannya, Bang Radit membandingkan dirinya dengan teman-temannya. Orang di luar bisa menghabiskan malam dengan ngobrol panjang, sedangkan dia lebih memilih di rumah, belajar menulis, belajar tentang komedi. Opportunity cost-nya adalah tidak mengembangkan skill yang dimiliki.

***

Video itu membuat saya jadi ingat, bahwa semakin dewasa, kita sering dipertemukan dengan pilihan-pilihan yang sulit. 

Selepas SMA, saya mencoba dua kampus untuk melanjutkan studi, Politeknik AKA Bogor dan UNJ. Saat itu kondisinya saya sudah lolos AKA Bogor dan masih menunggu pengumuman SBMPTN—yang mana 2 dari 3 pilihan saya adalah UNJ. 

Baca juga:

Muncul pilihan-pilihan: ambil yang sudah pasti atau menunggu sesuatu yang saya impikan. Saya dan orang tua bersepakat untuk bersabar menanti pengumuman SBMPTN. 

Beberapa hari setelah pengumuman AKA Bogor, pengumuman SBMPTN keluar. Hasilnya, saya lolos di UNJ dengan gologan UKT yang lebih murah. Nikmatnya lagi, ternyata pengajuan Bidikmisi saya lolos juga. Nikmat yang belapis-lapis tentunya. Alhamdulillah.

Kembali lagi ke topik.

Sekarang saat saya sudah masuk semester 7, kadang terpikirkan, andai dulu lanjut kuliah di AKA Bogor, kemungkinan besar saya sudah lulus karena D3. Tapi, saya belum tentu bisa dapat keringanan bayaran dari Bidikmisi. Semua tentang perhitungan.

Dari sini saya merefleksikan pada perjalanan hidup. Tentang pilihan satu dengan pilihan yang lain, pasti akan ada pertanyaan ini sebelum mengambil keputusan: apa manfaatnya, apa keuntungannya, adakah pilihan yang kerugiannya paling sedikit, dan masih banyak pertimbangan lainnya.

Hari ini saya tahu bahwa setiap hal akan ada pertanggungjawabannya. Saya juga percaya bahwa ada kehidupan setelah ini. 

Pertanyaannya: kenapa masih terus melakukan hal-hal yang hasilnya sudah pasti kerugian? 

Comments

  1. Halo mas robby. Jadi penasaran apa yang diutarakan mas radit tentang memaknai pilihan-pilihan hidup. Nanti deh saya liat videonya.

    Saya tuh sadar tentang pilihan hidup seperti ini sejak jaman SMA dulu. Waktu sma gak punya banyak waktu karena sibuk dan capek sekolah. Waktu tersita untuk sekolah. Cuma ada harapan setelah lulus baru mau fokus terjun dunia blog. Agak menyesal kenapa waktu sma enggak punya banyak waktu untuk pelajari hal-hal baru. Tapi mau gimana lagi...

    Dan disaat sekarang, aku masih ngerasa kurang produktif lagi. Masih dalam taraf stabil tapi ingin menuju ke pengingkatan dan itu butuh waktu. Aku udah selesai nulis 1 buku tapi untuk di terbitin kok rasanya sulit. Disitu aku ngerasa rugi karena banyak waktu terbuang untuk fokus menulis. Tapi disisi lain hal itu juga pembelajaran dan motivasi.

    Jadi yaa... Apapun pilihan hidup kayaknya ada positive part dan negative part yaa untuk diri sendiri hehe jadi... kalo kata teman ku, enjoy aja :D

    ReplyDelete
  2. terima kasih untuk artikel kk. sangat bermanfaat

    modular building

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Popular posts from this blog

Kumpul-kumpul Lucu Bareng Blogger Jabodetabek

Pertemuan yang kuimpikan, kini jadi kenyataan. Kira-kira begitulah lirik lagu yang cocok dengan isi post ini. Ehm, tapi kok jadi dangdut begini? Tanggal 11 Desember 2016 gue ikut kopdar blogger kedua dalam hidup. Tempatnya di Taman Ismail Marzuki. Satu hal yang mengganggu pikiran gue adalah: di mana itu Taman Ismail Marzuki. yang bikin: instagram.com/tigabumi Tiga hari sebelum kopdar gue sempat nyari informasi rute ke Taman Ismail Marzuki. Karena gue pengguna Transjakarta sejati, dengan usaha keras gue cari di halaman pertama Google. Hingga akhirnya bertemu sebuah blog yang mencerahkan kegundahan. Di sana disebutkan bahwa dari halte Kalideres naik bus ke arah Harmoni. Lalu nyambung naik ke arah Blok M, turun di Bank Indonesia. Kemudian di Bank Indonesia ngasih lamaran kerja jalan sebentar sampai perempatan, naik kopaja 502. Yok, semoga ngangkat. Semoga penjelasan tadi bisa masuk page one. Muehehe. Kali aja ada yang nggak tahu jalan kayak gue. Udah gue jelasin, nih. Huh...

Katakan pada Dunia, Inilah Resolusi 2019-ku!

Seperti biasanya, setiap tahun baru di kepala saya banyak muncul keinginan yang ingin dicapai. Agak bingung juga kenapa harus sampai di momen pergantian tahun keinginan itu menggebu untuk tercapai. Mungkin lebih tepat dikatakan bila momen pergantian tahun sebagai momen untuk membuat daftar keinginan. Menata lagi mana yang penting untuk ditunaikan. Tidak masalah sepertinya. Lebih baik seperti ini ketimbang bingung harus apa. Setidaknya dengan adanya tujuan, arah gerak saya menjadi lebih teratur. Menjelang pergantian tahun saya sudah melihat beberapa teman membuat daftar harapannya. Ada yang benar-benar mempublikasikannya di media sosial. Keren. Semua orang bisa lihat itu. Dari situ, bisa jadi orang-orang yang melihat tulisannya ikut berperan untuk membantu orang itu mewujudkannya. Berbeda dengan saya. Kali ini, untuk daftar-daftar semacamnya biar menjadi rahasia saya (sebenarnya belum dibuat versi rapi dan tersusunnya juga, sih). Namun, bukan berarti keinginan itu menjadi satu hal ya...

Kebiasaan Buruk Pengunjung Gramedia

Gue merasa ada perubahan dalam diri mengenai minat membaca buku. Walaupun gue cuma baca buku jenis tertentu (pastinya menghindari buku pelajaran), tapi setidaknya ada peningkatan dalam minat baca buku. Dulu, gue nggak tahan baca novel selama 20 menit. Sekarang, gue bisa 30 menit baca novel. 10 menit buat baca, sisanya gue ketiduran. Peningkatan itu ditandai dengan seringnya gue ke Gramedia. Setiap pulang les, tepatnya hari Minggu (saat kelas 10) atau Sabtu (saat kelas 11), gue sering ke Gramedia buat beli atau sekedar liat-liat buku baru. Baca juga: Ngomongin Buku: What I Talk About When I Talk About Running - Haruki Murakami Buku yang Menghangatkan Rumah   Pokoknya, Gramedia tempat ngabisin waktu paling seru~ (Gue nggak tau ini Gramed mana. Sumber: Google) Karena seringnya gue ke Gramedia, gue jadi tau kebiasaan pengunjung Gramedia. Mungkin nggak cuma di Gramedia, tapi di toko buku lainnya juga hampir mirip kebiasaannya. Berikut adalah kebiasaan buruk yang gue amati...