Skip to main content

Perkara Lisan

Sejak tahu fitur Whatsapp Story, ibu saya jadi tahu kabar-kabar saudara di kampung.

Setelah dipikir-pikir, beliau mirip dengan saya; menjadikan fitur story di medsos sebagai cara mengetahui keadaan seseorang.

Lain kali akan saya bahas lebih jauh.

Kembali ke topik.

Belum lama, ketika siang hari tengah bersantai, ibu saya memperlihatkan handphone-nya, menunjukkan story pernikahan keponakannya. "Liat nih By, mbak yang di kampung nikah." Saya manggut-manggut ikut bahagia. Mbak yang dimaksud memang usianya tak terlalu jauh dengan saya. Jadilah saya makin sadar... bahwa saya semakin tua.

Lain waktu, ibu saya menunjukkan foto bayi. Kali ini keponakannya yang lain baru saja melahirkan. Berkali-kali storynya dilihat dan di-zoom. Ibu saya ikut bahagia meskipun hanya melihat di handphone-nya. Saya sangat semakin sadar bahwa saya semakin tua.

Belum lama ini, beliau menunjukkan lagi story yang dilihatnya. Datangnya lagi-lagi dari keponakan yang berbeda dari dua sebelumnya.

"Nih lihat deh," ibu saya menyodorkan layar handphone-nya. Termunculkan foto seorang nenek berdarah-darah dan terkapar. Di saat bersamaan, saya sedang menuang saus di atas kroket buatan ibu. "Mama kenal sama orangnya. Yang ngebacok juga kenal."

Saya menunda mendaratkan kroket ke mulut. Nggak jadi. Saya nggak bisa makan sambil melihat darah. Ada keheningan beberapa saat di antara kita. Di antara kesunyian itu, saya malah jadi diam merenungkan kronologi yang diceritakan ibu saya. Sangat memungkinkan hal demikian terjadi. Mengingat, ketika masa kecil saya pun cukup familar dengan kisah-kisah tersebut. Atau, di berita-berita televisi. Gara-gara saling ejek, pertumpahan darah terjadi antarkampung.

Saya jadi termenung. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat bercanda ke seseorang. Mengucap sesuatu yang belum tentu dia sukai sebenarnya. Nggak terbayang ngerinya, kalau saat itu saya jadi korban balas dendam selanjutnya karena ulah lisan. Itu baru satu. Bagaimana dengan orang-orang sebelumnya yang masih menyimpan rasa sakit hati. Saya takut. Takut, suatu saat bernasib sama seperti nenek yang ada di story WhatsApp ibu saya. Ngeri pokoknya.

Memang susah-susah gampang yang namanya jaga lisan. Susahnya, ya susah banget pasti mewujudkannya. Gampangnya, ya gampang kita bilang untuk jaga lisan. Tetep ujungnya memang susah.

Ada satu prinsip yang pernah saya sampaikan ke adik-adik di kampus.

"Jangan melakukan sesuatu yang mana kita sendiri nggak mau diperlakukan demikian,” ujar saya. Lalu saya menambahkan, “Juga, perlakuan seseorang sebagaimana kita mau diperlakukan demikian."

Kita nggak mau diisengin, jangan iseng duluan ke teman. Kita nggak mau mukul, jangan pukul orang lain. Kita mau dicintai, kita cintai dulu orang-orang.

Ah, entahlah. Lebih hati-hati dalam berucap dan bersikap memang diperlukan siapa pun.


Comments

  1. I can relate, Rob. Saya pernah ketemu teman SD yang dulu sering jadi bahan becandaan. Meski bukan yang paling sering ngejek, saya jadi salah satu dari teman yang ketawa juga.

    Pas ketemu dan negor, bukannya ditegor balik tapi langsung digertak dan disinisi. Ia bercerita keras kepada temannya yang lain bahwa saya dan teman-teman pernah menyakitinya waktu SMP. Ngerti juga, hal yang dulu saya rasa biasa aja sekarang jadi hal yang serius.

    Kalo ketemu lagi, saya mau langsung minta maaf karena sebelumnya ia sudah naik pitam. Terimakasih kasih tulisannya, Rob. Ini jadi pengingat untuk saya juga

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Popular posts from this blog

Kumpul-kumpul Lucu Bareng Blogger Jabodetabek

Pertemuan yang kuimpikan, kini jadi kenyataan. Kira-kira begitulah lirik lagu yang cocok dengan isi post ini. Ehm, tapi kok jadi dangdut begini? Tanggal 11 Desember 2016 gue ikut kopdar blogger kedua dalam hidup. Tempatnya di Taman Ismail Marzuki. Satu hal yang mengganggu pikiran gue adalah: di mana itu Taman Ismail Marzuki. yang bikin: instagram.com/tigabumi Tiga hari sebelum kopdar gue sempat nyari informasi rute ke Taman Ismail Marzuki. Karena gue pengguna Transjakarta sejati, dengan usaha keras gue cari di halaman pertama Google. Hingga akhirnya bertemu sebuah blog yang mencerahkan kegundahan. Di sana disebutkan bahwa dari halte Kalideres naik bus ke arah Harmoni. Lalu nyambung naik ke arah Blok M, turun di Bank Indonesia. Kemudian di Bank Indonesia ngasih lamaran kerja jalan sebentar sampai perempatan, naik kopaja 502. Yok, semoga ngangkat. Semoga penjelasan tadi bisa masuk page one. Muehehe. Kali aja ada yang nggak tahu jalan kayak gue. Udah gue jelasin, nih. Huh...

Katakan pada Dunia, Inilah Resolusi 2019-ku!

Seperti biasanya, setiap tahun baru di kepala saya banyak muncul keinginan yang ingin dicapai. Agak bingung juga kenapa harus sampai di momen pergantian tahun keinginan itu menggebu untuk tercapai. Mungkin lebih tepat dikatakan bila momen pergantian tahun sebagai momen untuk membuat daftar keinginan. Menata lagi mana yang penting untuk ditunaikan. Tidak masalah sepertinya. Lebih baik seperti ini ketimbang bingung harus apa. Setidaknya dengan adanya tujuan, arah gerak saya menjadi lebih teratur. Menjelang pergantian tahun saya sudah melihat beberapa teman membuat daftar harapannya. Ada yang benar-benar mempublikasikannya di media sosial. Keren. Semua orang bisa lihat itu. Dari situ, bisa jadi orang-orang yang melihat tulisannya ikut berperan untuk membantu orang itu mewujudkannya. Berbeda dengan saya. Kali ini, untuk daftar-daftar semacamnya biar menjadi rahasia saya (sebenarnya belum dibuat versi rapi dan tersusunnya juga, sih). Namun, bukan berarti keinginan itu menjadi satu hal ya...

Kebiasaan Buruk Pengunjung Gramedia

Gue merasa ada perubahan dalam diri mengenai minat membaca buku. Walaupun gue cuma baca buku jenis tertentu (pastinya menghindari buku pelajaran), tapi setidaknya ada peningkatan dalam minat baca buku. Dulu, gue nggak tahan baca novel selama 20 menit. Sekarang, gue bisa 30 menit baca novel. 10 menit buat baca, sisanya gue ketiduran. Peningkatan itu ditandai dengan seringnya gue ke Gramedia. Setiap pulang les, tepatnya hari Minggu (saat kelas 10) atau Sabtu (saat kelas 11), gue sering ke Gramedia buat beli atau sekedar liat-liat buku baru. Baca juga: Ngomongin Buku: What I Talk About When I Talk About Running - Haruki Murakami Buku yang Menghangatkan Rumah   Pokoknya, Gramedia tempat ngabisin waktu paling seru~ (Gue nggak tau ini Gramed mana. Sumber: Google) Karena seringnya gue ke Gramedia, gue jadi tau kebiasaan pengunjung Gramedia. Mungkin nggak cuma di Gramedia, tapi di toko buku lainnya juga hampir mirip kebiasaannya. Berikut adalah kebiasaan buruk yang gue amati...