Skip to main content

Tempat Pinjam Buku

Bang Yoga, seorang penggagas WIRDY, pernah berbagi pengalaman dan progresnya membaca di aplikasi iJakarta, aplikasi buat baca e-book gratis. Aplikasi itu memungkinkan penggunanya merasakan perpustakaan digital. Penggunanya bisa pinjam e-book selama 14 hari. Persis perpustakaan sungguhan, aplikasi ini punya stok untuk suatu judul buku. Jadi ada kemungkinan buku sudah habis dipinjam.



Enak ya zaman sekarang. Mau pinjam buku nggak ribet. Kita tinggal punya aplikasinya, ketik judul, pinjam. Saya suka konsep aplikasi ini. Meminjam buku semudah klik. 

Buat saya, baca e-book berlama-lama bikin mata capek. Saya bukan tipe orang yang betah berlama-lama ngadepin e-book

Dari sekian hari, saya masih tetap mengantongi harapan: memudahkan orang lain untuk membaca.  Masih ada dalam hati sepercik motivasi meminjamkan buku. Sejauh ini saya punya beberapa referensi untuk dipadukan jadi sebuah ide. Mungkin saya bakal menerapkan ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi).

Entah bagaimana jadinya, saya sepertinya butuh “gelas” lain untuk menuang semua ini.

---

“Mi, buku gue di rumah banyak banget. Bingung naruhnya.” 

Obrolan siang itu mungkin jadi terkesan saya mau pamer banyak buku. Bukan, bukan sama sekali. 

 “Jadi Mi,” kata saya kepada teman saya, Fahmi, “Gue kepikiran buat bikin semacam proyek buat minjemin buku-buku gitu.”

Saya kemudian cerita panjang sambil menghabisi makan siang. Saya ceritakan semua, mulai dari sumber inspirasi dari mana sampai ngomongin nanti sistemnya kayak gimana. Seolah-olah yakin banget Fahmi bakal tertarik. 

“Menurut lu gimana?” tanya saya.

Fahmi juga cerita, ternyata bukunya banyak banget di rumah. Sayang banget jarang dibaca karena dia saat itu nge-kost. Ngelihat hal demikian, kayaknya nggak perlu panjang-panjang komunikasi bakal menemui titik temu. Ya, dari sekian banyak buku-buku kita di rumah, muncullah sebuah ide, yaitu ...

Nggak dong.

Maka hari itu kami bersepakat untuk membangun sebuah wadah peminjaman buku. Bukunya dari mana? Tentu, dari buku-buku koleksi kami. 

Nggak lama setelah pertemuan makan siang itu, saya melanjutkan diskusi seputar garapan kami. Pertama, kami butuh nama: sebuah identitas yang membuat kami dikenal. Kami ingin dikenal sebagai wahana untuk meminjam buku. Kami ingin, dengan orang lain tahu nama kami, langsung terpikirkan "wah, tempat peminjaman buku". Sama seperti ketika mendengar kata "nanas", kelenjar liur di mulut terasa bergelitik. Tiba-tiba ngerasa asem.

Dengan adanya kami, saat orang-orang ingin baca buku tapi nggak ada uang untuk beli, kami bisa meminjamkannya.

Beuh, sedap kan!

Kalau saya inget-inget, idenya cukup mantap.

“Gue kepikirannya sih, kita pakai dua kata,” saya membuka obrolan, layaknya di film-film tentang suatu perencanaan besar. Tentu, saya sambil mengaduk mi yamin. Ya, hari itu kami bertemu di momen makan siang kembali. 
“Boleh.”
“Apa ya?”

Lalu kami mengambil jeda sejenak, berpikir. 

“Dari nama itu, kita bisa punya filosofi dan identitas yang menggambarkan kita banget,” kata saya.

Satu per satu calon nama kami sebutkan. Saya sebut nama A, Fahmi sebut nama B. Kami ambil filosofinya, dipadukan lalu ketemu nama C. Satu nama usulan yang masih saya ingat—sempat ingin dipakai—adalah “Bukulapuk”. 

Bukulapuk
Alasan filosofis: buku kami sudah terlalu lama nggak dibaca, mungkin hampir lapuk. 
Alasan ngawur: plesetan Bukalapak.

“Susah juga ya,” kata saya. Pengalaman ini akan menjadi potongan kisah lain bagaimana sulitnya saya mencari nama atau memberikan judul, persis seperti menemukan nama Kolam Kalam
“Sederhananya sih, kita kan pengin jadi tempat peminjaman buku ya.” Saya menghidupkan lagi diskusi kami. “Gue suka sama suatu kata yang dia itu singkatan dari dua kata.”
Beberapa saat sejenak saya berpikir. “Kalau Tepi Buku gimana? Tempat pinjam buku.”
 “Boleh, boleh. Keren. Gampang diinget.” Fahmi mengiyakan.

Tepi Buku. Dua kata yang sederhana, cukup menjelaskan ketika orang bertanya “Tepi Buku? Apaan tuh?”, dengan mudah bisa dijawab, itu singkatan dari “tempat pinjam buku”.

Hari itu, bersamaan dengan tercetusnya nama Tepi Buku, masing-masing kami selesai dengan menu makan siang yang sama. Dua mangkuk bekas mi yamin dan empat gelas bekas es teh manis menjadi saksi, resmilah Tepi Buku berdiri.
---
Tulisan ini adalah tulisan ketiga dari cerita bersambung yang berjudul "Memeluk Buku-buku yang Bertumpuk". Berkisah tentang perjalanan saya dalam dunia pinjam-meminjam buku.
Selamat membaca!
Part 0: Memeluk Buku-buku yang Bertumpuk
Part 1: Dilanku, Dilanmu, Dilan Kita Semua
Part 2: Motivasi Meminjamkan Buku

Comments

  1. Congrats mas Robby, akhirnya project-nya punya nama. Semoga project Tepi Bukunya lancar ya ~ banyak yang pinjam dan mampu menaikkan minat baca para peminjamnya :>

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmmm aamiin mbak. Next post ada cerita lanjutannya mbak :D

      Delete
  2. Asikkkk bukuapuk, maju terus jgn coba mundur

    ReplyDelete
  3. Wow tepi buku. Saya ngebayanginnya kok jadi kayak ceritanya lagi baca buku tapi di tepi sungai gitu. Mau dong pinjam! :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hueheheh, saya pernah bayagin tepi sungai juga mbak, tapi gak sambil baca buku

      Delete
  4. Lho kok jadi ngakak baca bukulapuk wkwk

    Tepi buku boleh juga namanya, mudah diingat. Saya ngebayangin lapak tepi buku berada di tepi jalan. Banyak yang mampir, lalu duduk membaca buku *asikk betapa berfaedahnya coba :")

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya tulis itu saking berkesannya nama bukulapuk. Bisa-bisanya nyeplos kata itu :D

      Waaah. Rasanya jadi banyak berimajinasi~

      Delete
  5. Dituggu banget nih rilis resminya tepi buku✊

    ReplyDelete
  6. Mantepp bangett idenya.. ditunggu kisah kelanjutannya yah.. bukulapuk bagus kok unik,, tepi buku juga... saya suka baca buku.. hampir tiap bulan keluar buat beli buku stok sebulan.. Smpe sering dipinjam sama temen kerja terus kaga dikembali2in.. hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siap, ditunggu ya mas hehe

      Yah sayang banget kok nggak dikembaliin...

      Delete

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Popular posts from this blog

Kumpul-kumpul Lucu Bareng Blogger Jabodetabek

Pertemuan yang kuimpikan, kini jadi kenyataan. Kira-kira begitulah lirik lagu yang cocok dengan isi post ini. Ehm, tapi kok jadi dangdut begini? Tanggal 11 Desember 2016 gue ikut kopdar blogger kedua dalam hidup. Tempatnya di Taman Ismail Marzuki. Satu hal yang mengganggu pikiran gue adalah: di mana itu Taman Ismail Marzuki. yang bikin: instagram.com/tigabumi Tiga hari sebelum kopdar gue sempat nyari informasi rute ke Taman Ismail Marzuki. Karena gue pengguna Transjakarta sejati, dengan usaha keras gue cari di halaman pertama Google. Hingga akhirnya bertemu sebuah blog yang mencerahkan kegundahan. Di sana disebutkan bahwa dari halte Kalideres naik bus ke arah Harmoni. Lalu nyambung naik ke arah Blok M, turun di Bank Indonesia. Kemudian di Bank Indonesia ngasih lamaran kerja jalan sebentar sampai perempatan, naik kopaja 502. Yok, semoga ngangkat. Semoga penjelasan tadi bisa masuk page one. Muehehe. Kali aja ada yang nggak tahu jalan kayak gue. Udah gue jelasin, nih. Huh...

Katakan pada Dunia, Inilah Resolusi 2019-ku!

Seperti biasanya, setiap tahun baru di kepala saya banyak muncul keinginan yang ingin dicapai. Agak bingung juga kenapa harus sampai di momen pergantian tahun keinginan itu menggebu untuk tercapai. Mungkin lebih tepat dikatakan bila momen pergantian tahun sebagai momen untuk membuat daftar keinginan. Menata lagi mana yang penting untuk ditunaikan. Tidak masalah sepertinya. Lebih baik seperti ini ketimbang bingung harus apa. Setidaknya dengan adanya tujuan, arah gerak saya menjadi lebih teratur. Menjelang pergantian tahun saya sudah melihat beberapa teman membuat daftar harapannya. Ada yang benar-benar mempublikasikannya di media sosial. Keren. Semua orang bisa lihat itu. Dari situ, bisa jadi orang-orang yang melihat tulisannya ikut berperan untuk membantu orang itu mewujudkannya. Berbeda dengan saya. Kali ini, untuk daftar-daftar semacamnya biar menjadi rahasia saya (sebenarnya belum dibuat versi rapi dan tersusunnya juga, sih). Namun, bukan berarti keinginan itu menjadi satu hal ya...

Kebiasaan Buruk Pengunjung Gramedia

Gue merasa ada perubahan dalam diri mengenai minat membaca buku. Walaupun gue cuma baca buku jenis tertentu (pastinya menghindari buku pelajaran), tapi setidaknya ada peningkatan dalam minat baca buku. Dulu, gue nggak tahan baca novel selama 20 menit. Sekarang, gue bisa 30 menit baca novel. 10 menit buat baca, sisanya gue ketiduran. Peningkatan itu ditandai dengan seringnya gue ke Gramedia. Setiap pulang les, tepatnya hari Minggu (saat kelas 10) atau Sabtu (saat kelas 11), gue sering ke Gramedia buat beli atau sekedar liat-liat buku baru. Baca juga: Ngomongin Buku: What I Talk About When I Talk About Running - Haruki Murakami Buku yang Menghangatkan Rumah   Pokoknya, Gramedia tempat ngabisin waktu paling seru~ (Gue nggak tau ini Gramed mana. Sumber: Google) Karena seringnya gue ke Gramedia, gue jadi tau kebiasaan pengunjung Gramedia. Mungkin nggak cuma di Gramedia, tapi di toko buku lainnya juga hampir mirip kebiasaannya. Berikut adalah kebiasaan buruk yang gue amati...