Skip to main content

Andai Mereka Bisa Bicara

Ketika James Herriot yang baru lulus sebagai dokter hewan tiba di desa kecil Darrowby, Yorkshire, dia tak punya bayangan sedikit pun tentang kehidupan yang akan dijalaninya, teman-teman baru yang akan dijumpainya, atau berbagai petualangan yang telah menunggunya.

Buku ini menceritakan tahun pertama James Herriot sebagai dokter hewan di desa Darrowby yang indah, kehidupan sehari-harinya bersama Siegfired Farnon yang eksentrik dan Tristan Farnon yang selalu sial, dan para peternak serta binatang-binatang mereka yang mengandalkan bantuannya. 
Dengan gaya berceritanya yang khas, yang membuatnya dicintai di seluruh dunia, James Herriot menuturkan cerita yang penuh tawa dan suka cita, tentang manusia dan binatang, serta alam pedesaan yang indah.



Judul: Andai Mereka Bisa Bicara (If Only They Could Talk)
Penulis: James Herriot
Jumlah halaman: 308 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ketiga: Mei 2016

Buku Andai Mereka Bisa Bicara saya masukkan ke daftar tantangan membaca 3 buku dalam 1 bulan—yang kalau dibagi menjadi 10 hari 1 buku. Challenge ini digagas kakak tingkat saya melalui akun Instagramnya. 

Saya lupa kapan membeli buku ini. Seingat saya, dulu saya beli buku Andai Mereka Bisa Bicara sewaktu semangat-semangatnya jualan buku. Saya membelinya di cuci gudang Gramedia Matraman. Saya lihat ada tumpukan yang masih bagus dan cukup murah, saya asal mengambilnya tanpa pernah mencari tahu sinopsis atau profil penulisnya, seperti yang biasa saya lakukan ketika membeli buku.

Mengapa saya ambil yang bagus? Karena buku itu sebenarnya mau saya jual. Tapi karena waktu itu saya merasa kekurangan bacaan, jadilah saya buka segel barang dagangan saya sendiri. Eh, setelah plastiknya dibuka, bukunya malah nggak dibaca. Seketika muncul perasaan menyesal.

Dalam berjalannya mengikuti tantangan tersebut, saya termasuk orang yang lebih dari target. Iya, saya baru menyelesaikan buku itu dalam 13 hari. Kelebihan 3 hari. Nggak masalah, yang penting tetap baca buku. Ikut challenge biar terpacu aja. 

Membaca buku ini serasa kayak baca buku panduan kedokteran hewan. Hampir secara keseluruhan isinya tentang how to menangani hewan ternak yang dialami langsung oleh penulisnya. Mulai dari lembu, sapi, hingga kuda. Dari urusan tumor hingga kelahiran, semuanya diceritakan dengan runut. Saya yang baca ceritanya ikutan terasa nuansa deg-degannya di ruang operasi.  

Selain mendapatkan feel penanganan hewan ternak, di buku ini James Herriot banyak menggambarkan peternak di desa yang beragam. Herriot, yang merupakan dokter muda, mendapatkan asam-manis dan lika-liku dalam tahun pertama kariernya. Kisahnya beragam, membuat kita yang bukan dokter—apalagi dokter hewan—bakal bergumam “oh, begitu ternyata perjuangannya”.

Herriot dalam menjalani kariernya nggak sendirian. Ada Siegfried Farnon—kerap disapa Siegfried—yang merupakan dokter berpengalaman dalam menangani hewan ternak. Herriot menjadi asistennya. Dia terkenal di desa-desa sebagai spesialis dalam mengatasi persoalan penyakit pada hewan. Siegfried memiliki adik yang bernama Tristan Farnon. Tristan seringkali menjadi “batu penghalang” kinerja mereka berdua karena dianggap nggak beres dalam melakukan pekerjaannya. Namun, hal itulah yang saya tunggu pada buku ini. Setiap kali muncul nama Tristan, saya menebak-nebak, hal konyol apa lagi yang dilakukannya. 

Contohnya satu bagian ini. Tengah malam kala itu Herriot terbangun karena telepon berdering. Baginya, bukan hal asing menerima telepon tengah malam, apalagi setelah tau isi telepon tersebut datang dari peternak. Orang di seberang sana meminta Herriot segera datang ke tempatnya untuk menangani hewannya yang sakit. Alamatnya sang peternak jauh sekali, rutenya juga terjal. Mustahil tengah malam begini dia sampai dengan cepat.

Peternak itu akhirnya mengaku. Dia adalah Tristan, yang bicara di saat mabuk. Dia nge-prank Herriot tengah malam dengan berpura-pura menjadi peternak. Sontak emosinya meningkat pada adik Farnon tersebut. 

Di lain waktu, ketika Tristan mendapat tugas untuk memegang tagihan para peternak, Tristan melakukan kesalahan besar. Dia menghilangkan bukti tagihan para peternak dan dia kebingungan. Herriot curiga, kali ini Tristan pasti bercanda. Ternyata hilang sungguhan. Di situ saya malah tertawa membacanya.

Secara keseluruhan, karena ini buku terjemahan, saya cukup menikmati gaya tulisannya. Cukup bisa dimengerti dan asyik untuk diikuti. Penggambaran suasana yang diceritakan cukup terbayang asyiknya kehidupan di desa dengan dunia peternakannya. 

Comments

  1. Kehidupan desa dengan dunia peternakan, sejenak saat membacanya pasti terfokus ke dunia peternakan disana. Cukup membantu untuk melupakan pikiran akan keadaan metropolitan yah.

    ReplyDelete
  2. Kalau baca buku terjemahan kayak gini kadang ada yang bagus, kadang ada yang kurang sehingga pembaca jadi kurang bisa merasakan isinya. Beberapa kali nemu yang kayak gitu soalnya muehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bang, pas banget yang ini bagus terjemahannya huehehe

      Delete
  3. Saat ini, saya sedang baca buku serupa. Judulnya Animal Farm. Kalo ini tentang dokter hewan, buku yang saya baca tentang sekelompok hewan ternak yang melengserkan tirani manusia.

    Sebagai orang yang ikut reading challenge di Goodreads, saya juga lagi berusaha nutupin utang baca yang sempat banyak kemarin 😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa samaan gitu kita. Hahaha. Semangat Rahul menunaikan utang baca bukunya!

      Delete
  4. gue sepertinya harus mulai baca buku lagi nih

    biar bisa dapet inspirasi
    apa gue harus ikut challange seperti ini ya
    dalam satu bulan, menghabiskan 3 buku

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kadang nggak perlu ikutan challenge bang. Cukup hadirkan rasa itu dalam hati, baru bisa tergerak :')

      Delete
  5. Belom pernah baca genre buku seperti yang ditulis di atas. Keseringan baca cerpen kompas yang satir sih wkwk

    Kalo buku terjemahan baru baca beberapa buku, itupun pilih-pilih. Huh dasar aku 🙈

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cerpen kompas ya. Saya juga pernah baca, tapi di hape. Biasa, gak kuat natap layar~

      Delete
  6. Entah kenapa jadi kepikiran sebuah seri Manga judulnya, Silver Spoon...

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca. Mari berbagi bersama di kolom komentar.

Popular posts from this blog

Kumpul-kumpul Lucu Bareng Blogger Jabodetabek

Pertemuan yang kuimpikan, kini jadi kenyataan. Kira-kira begitulah lirik lagu yang cocok dengan isi post ini. Ehm, tapi kok jadi dangdut begini? Tanggal 11 Desember 2016 gue ikut kopdar blogger kedua dalam hidup. Tempatnya di Taman Ismail Marzuki. Satu hal yang mengganggu pikiran gue adalah: di mana itu Taman Ismail Marzuki. yang bikin: instagram.com/tigabumi Tiga hari sebelum kopdar gue sempat nyari informasi rute ke Taman Ismail Marzuki. Karena gue pengguna Transjakarta sejati, dengan usaha keras gue cari di halaman pertama Google. Hingga akhirnya bertemu sebuah blog yang mencerahkan kegundahan. Di sana disebutkan bahwa dari halte Kalideres naik bus ke arah Harmoni. Lalu nyambung naik ke arah Blok M, turun di Bank Indonesia. Kemudian di Bank Indonesia ngasih lamaran kerja jalan sebentar sampai perempatan, naik kopaja 502. Yok, semoga ngangkat. Semoga penjelasan tadi bisa masuk page one. Muehehe. Kali aja ada yang nggak tahu jalan kayak gue. Udah gue jelasin, nih. Huh...

Katakan pada Dunia, Inilah Resolusi 2019-ku!

Seperti biasanya, setiap tahun baru di kepala saya banyak muncul keinginan yang ingin dicapai. Agak bingung juga kenapa harus sampai di momen pergantian tahun keinginan itu menggebu untuk tercapai. Mungkin lebih tepat dikatakan bila momen pergantian tahun sebagai momen untuk membuat daftar keinginan. Menata lagi mana yang penting untuk ditunaikan. Tidak masalah sepertinya. Lebih baik seperti ini ketimbang bingung harus apa. Setidaknya dengan adanya tujuan, arah gerak saya menjadi lebih teratur. Menjelang pergantian tahun saya sudah melihat beberapa teman membuat daftar harapannya. Ada yang benar-benar mempublikasikannya di media sosial. Keren. Semua orang bisa lihat itu. Dari situ, bisa jadi orang-orang yang melihat tulisannya ikut berperan untuk membantu orang itu mewujudkannya. Berbeda dengan saya. Kali ini, untuk daftar-daftar semacamnya biar menjadi rahasia saya (sebenarnya belum dibuat versi rapi dan tersusunnya juga, sih). Namun, bukan berarti keinginan itu menjadi satu hal ya...

Kebiasaan Buruk Pengunjung Gramedia

Gue merasa ada perubahan dalam diri mengenai minat membaca buku. Walaupun gue cuma baca buku jenis tertentu (pastinya menghindari buku pelajaran), tapi setidaknya ada peningkatan dalam minat baca buku. Dulu, gue nggak tahan baca novel selama 20 menit. Sekarang, gue bisa 30 menit baca novel. 10 menit buat baca, sisanya gue ketiduran. Peningkatan itu ditandai dengan seringnya gue ke Gramedia. Setiap pulang les, tepatnya hari Minggu (saat kelas 10) atau Sabtu (saat kelas 11), gue sering ke Gramedia buat beli atau sekedar liat-liat buku baru. Baca juga: Ngomongin Buku: What I Talk About When I Talk About Running - Haruki Murakami Buku yang Menghangatkan Rumah   Pokoknya, Gramedia tempat ngabisin waktu paling seru~ (Gue nggak tau ini Gramed mana. Sumber: Google) Karena seringnya gue ke Gramedia, gue jadi tau kebiasaan pengunjung Gramedia. Mungkin nggak cuma di Gramedia, tapi di toko buku lainnya juga hampir mirip kebiasaannya. Berikut adalah kebiasaan buruk yang gue amati...